NAMA : IMAM FITRIN
KELAS : A
NIM : 2101409154
TUGAS I
Kebudayaan Memiliki Ciri-ciri Adaptif, Integratif, dan Dinamis
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan dapat dikatakan sebagai suatu sistem dalam masyarakat yang menjadi tempat terjadinya interaksi antar individu/kelompok dengan idnividu/kelompok lain sehingga menimbulkan suatu pola tertentu, kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama (baik langsung ataupun tidak langsung).
Kebudayaan adalah khas hasil manusia, karena di dalamnya, manusia menyatakan dirinya sebagai manusia, mengembangkan keadaannya sebagai manusia, dan memperkenalkan dirinya sebagai manusia. Dalam kebudayaan, bertindaklah manusia sebagai manusia dihadapan alam, namun ia membedakan dirinya dari alam dan menundukkan alam bagi dirinya.
Kebudayaan adalah suatu mekansime yang dapat menyesuaikan diri.Kebudayaan adalah sebuah keberhasilan mekanisme bagi manusia. Kebudayaan memberikan kita sebuah keuntungan selektif yang besar dalam kompetisi bertahan hidup terhadap bentuk kehidupan yang lain.
Menurut WF Ogburn ada dua sisi budaya, yaitu kebudayan materiil dan non materiil. Kebudayaan materiil adalah segala produk yang dihasilkan berupa materi, sedangkan kebudayaan non materiil (selanjutnya disebut budaya adaptif) adalah kemampuan penyesuaian atas perubahan materi yang terjadi. Umpamanya perubahan global atas sistem dan produksi disebutsebagai perubahan dallam sisi materi, namun penyesuaian budaya masyarakat atas sistem maupun barang-barang baru disebut budaya adaptif.
Dalam hal adaptasi kebudayaan, bangsa kita termasuk yang tertinggal dan tingkat adaptasinya rendah. Misalnya saja internet, barang baru bagi masyarakat Indonesia. Internet sebagai ikon global sudah menjamur ke pinggiran kota dan mungkin merambah pedesaan, sebagaimana VCD. Rental dibuka dengan ruang yang diberi sekat. Penyekatan ruang adalah sebagai penjagaan terhadap privacy. Disana orang lebih dapat berkonsentrasi browsing, dan lainnya. Orang-orang dapat mengakses apa saja yang mereka mau dan melihat dunia dengan segala aspeknya, bahkan lekuk-lekuk tubuh yang paling tabu sekalipun. Akan tetapi, sering terjadi permainan seksual di ruang rental internet, yang tentu bukan pada tempatnya. Internet digunakan untuk mengakses video porno, sementara sepasang pengakses menikmati kegiatan seksual pula. Peristiwa ini merambah masyarakat terutama remaja. Hal ini menjadi bukti ketidakadaptifan masyarakat dalam dinamika budaya yang berupa teknologi. Ketidaksiapan masyarakat terhadap perubahan budaya akan mengakibatkan terjadinya culture shockatau goncangan budaya.
Konsep Kebudayaan adalah kerangka acuan teoritis dalam usaha pengembangan kebudayaan. Dengan landasan ini maka kebudayaan dapat dipahami sebagai suatu tatanan sistem nilai dan perwujudannya dalam kenyataan material dan perilaku social. Identitas kebudayaan bukanlah suatu sosok utuh dan padat tetapi terdiri atas unsur-unsur dengan variasi dan tumpang tindih yang memungkinkan adanya persamaan di antara perbedaan-perbedaan. Pengertian kebudayaan demikian mereduksi konflik antar dan intra etnik yang bersifat terbuka untuk perkembangan.
Identitaspun dipahami dengan kelenturannya untuk memperoleh kemampuan integratif yang lebih luas, dengan memahami dialektika perkembangan antara identitas dengan integrasi yang berlangsung terus menerus.
Kebudayaan juga memiliki ciri dinamis atau selalu mengalami perubahan yang berarti pula tidak statis.Kebudayaan bukan sesuatu yang terus-menerus tetap (bertumpuk). Pada waktu yang sama dimana suatu kebudayaan ada, terdapat tanda-tanda kebudayaan baru. Tanda-tanda itu bisa sebagai tambahan (addition)atau pengurangan (subtraction).Tanda-tanda ini menyebabkan perubahan kebudayaan. Hal ini disebabkan kebudayaan berubah dan berkembang secara dinamis setiap saat: kebudayaan tidak statis. Berbagai aspek kebudayaan beserta tanda-tandanya akan terjalin rapat menjadi suatu pola yang sangat komplek.
Walaupun kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangan, namun jati diri suatu kebudayaan dapat lestari; artinya lestari yang dinamis, yaitu ciri-ciri pengenalnya secara keseluruhan tetap dimiliki, meskipun bentuk-bentuk ungkapan di dalamnya dapat mengalami perubahan (Sedyawati, 2008: 290). Oleh karena itu, pelestarian yang dilakukan pun juga merupakan pelestarian dinamis. Berkaitan dengan seni dan budaya daerah, upaya-upaya pelestarian dinamis yang dapat ditempuh antara lain:
a. pendokumentasian secermat mungkin dengan menggunakan media-media yang sesuai; hasil dokumentasi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai sumber acuan dengan syarat disimpan di tempat yang aman dan diregistrasi secara sistematis agar penelusurannya mudah.
b. pembahasan dalam rangka penyadaran, khususnya tentang nilai-nilai budaya, norma, dan estetika.
c. pengadaan acara penampilan yang memungkinkan orang mengalami dan menghayati (Sedyawati, 2008: 280).
Dengan kegiatan pelestarian dinamis itu, diharapkan akan terbentuk suatu kesadaran kultural yang terdapat pada setiap insan Indonesia (Kartodirdjo, 1994a dan 1994b).
Perjalanan kebudayaan diharapkan senantiasa dapat menciptakan momentum yang memberikan ruang kepada siapa saja untuk terlibat dalam mengembangkan kebudayaan melalui proses yang dialogis, dimana setiap orang, komunitas, komponen masyarakat bisa turut mewarnai kebudayaan tersebut secara aktif. Dengan demikian kebudayaan terus berjalan dan terbuka bagi suatu perubahan yang dinamis ke arah pengembangan yang partisipatif dan berperadaban. Kebudayaan merupakan proses penghadiran fragmen kebersamaan dengan mengembangkan sikap penghargaan atas keberanekaan dan keberbedaan. Maka, kebudayaan menjadi milik bersama tanpa hegemoni dan monopoli satu atas yang lain. Itulah hakekat kehidupan kebudayaan yang kita cita-citakan.
Kebudayaan Indonesia tidak akan kaya seperti yang kita yakini sekarang ini jika para leluhur kita tidak menerima kebenaran budaya Hindu, Budha, Islam, Kristen, Cina, Barat dan lain-lain. Sebaliknya, sejarah telah mencatat dengan jelas bahwa ketidakterimaan pada keberagaman telah menimbulkan berbagai konflik dahsyat yang meruntuhkan derajat dan martabat kemanusiaan.Sesanti Bhinneka Tunggal Ika tidak lahir begitu saja tanpa penghayatan dan kristalisasi pengalaman kesejarahan para leluhur kita.
Kebanggan terhadap kekayaan budaya sendiri bukan tidak diperlukan, tetapi ketika kebanggaan itu menutup dan menghalangi pandangan kritis terhadap milik sendiri dan menutup mata terhadap perkembangan di luar, serta menganggap budaya yang ada sebagai puncak kebudayaan yang tabu untuk berubah dan diubah adalah sesuatu yang menghawatirkan. Bukan saja itu merupakan ancaman bagi perkembangan kebudayaan itu sendiri tapi sikap tersebut adalah tindakan yang tak berbudaya dan anti budaya, karena kebudayaan hakekatnya adalah perubahan.
Konsep kebudayaan simbolik dan interpretatif menggambarkan hubungan antara simbol-simbol budaya dan kehidupan sosial sebagai suatu “hubungan satu arah” dimana simbol-simbol budaya menginformasikan, mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Dengan konsep ini simbol-simbol budaya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sui generis (terbentuk dengan sendirinya) dimana nilai-nilai budaya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Setiap komponen masyarakat adalah subyek dalam ikut membentuk nilai-nilai budaya. Antara manusia dan kebudayaannya terdapat sesuatu proses interaksi terus-menerus, dimana manusia mencoba mengolah dan mengkonstruksi simbol-simbol budaya demi kepentingannya dalam kondisi sosial, ekonomi dan politik. Implikasi cara pandang yang demikian adalah simbol-simbol maupun nilai-nilai yang terkandung dalam suatu kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis, dan sementara, karena keberadaannya tergantung pada kepentingan para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu. Implikasi lain dari konsep ini adalah bahwa suatu kebudayaan hanya dapat terwujud dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai “subyek”. Dengan kata lain, pendekatan ini menekankanketerlibatan setiap anggota masyarakat dalam proses pengembangan kebudayaan itu sendiri.
Perbedaan konsep pemahaman terhadap kebudayaan mempunyai implikasi penting pada pemahaman salah satu unsur kebudayaan misalnya kesenian. Pendekatan simbolik dan interpretatif akan melihat kesenian sebagai suatu konsep analitis, sedangkan pendekatan subyek melihat kebudayaan sebagai suatu proses dinamis yang berkaitan erat dengan kepentingan dan kekuasaan pelakunya, maka proses berkesenian itu sendiri merupakan suatu proses kebudayaan. Maka karena ia merupakan proses kebudayaan, maka proses berkesenian itupun berakar pada nilai-nilai kebudayaan tertentu.
Semua “bentuk” perubahan kesenian di atas, berangkat dari pemahaman dan nilai bahwa kesenian adalah bagian dari upaya survive dalam kehidupan, posisi kesenian sebagai alat memenuhi kebutuhan hidup dalam kontelk sosial ekonomi tertentu. Dan dalam pemahaman bahwa kebudayaan berada dalam kekuasaan subyeknya, maka hal demikian adalah sesuatu yang wajar dalam proses kebudayaan.
Sumber rujukan:
1. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi:Kebudayaan, Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
2. http://manshurzikri.wordpress.com/2009/11/27/karakteristik-kebudayaan/
5. http://hasanbasri08.wordpress.com/2010/01/01/mempertanyakan-perilaku-berkebudayaan-kita/
TUGAS II
Kebudayaan Adiluhung
Kebudayaan tinggi dan kebudayaan massa
Kebudayaan tinggi atau adiluhung adalah gagasan atau anggapan bahwa suatu hasil kebudayaan merupakan puncak kebudayaan yang bersifat absolut, luhurbahkan sakral dan karenanya tidak boleh diubah. Konsep ini diteruskan dengan upaya melanggengkan, menjaga, sekaligus sebagai acuan untuk memilah antara budaya tinggi dan budaya rendah.Budaya yang dianggap baik dan yang dianggap jelek. Kesenian yang memenuhi kreteria baik dan kesenian yang berkreteria jelek.
Konsep kebudayaan massa bersifat antropologis karena berpusat pada makna hidup sehari-hari. Makna dengan demikian bukanlah ditularkan secara individual, tetapi kolektif.Oleh karena itu, pengertian mengenai kebudayaan adalah makna yang dibagikan. Pilihan konsep kebudayaan massa ini memungkinkan dihadirkannya legitimasi atas budaya massa sebagai perilaku budaya yang dihargai bukan sebagai budaya yang rendah.
Kegelisahaan utama berbagai kelompok masyarakat di belahan dunia mana pun adalah bagaimana mempertahankan identitas jati dirinya. Bagaiaamana suatu suku bangsa memelihara dan menjaga kelestarian nilai-nilai adiluhung yang diwariskan sehingga identitas tetap eksis di antara suku bangsa lain.
Adanya berbagai pengaruh budaya asing sebagai dampak dari arus globalisasi menjadi tidak terelakkan. Permasalahan terutama timbul ketika berbagai pengaruh tersebut diterima oleh generasi muda yang belum mempunyai pegangan budaya. Generasi ini ada kesenjangan dengan generasi sebelumnya yang diakibatkan oleh terhentinya pola pewarisan budaya. Pola pewarisan budaya ini terhenti antara lain disebabkan oleh adanya kesenjangan penguasaan informasi dengan teknologinya. Golongan tua yang masih memegang teguh tradisi budaya lama kurang dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi dan contentnya. Dilain pihak generasi sekarang demikian cepat menangkap segala sesuatu yang baru tanpa dibarengi adanya filter yang memang tidak dipersiapkan sebelumnya. Kondisi ini menimbulkan tidak adanya komunikasi yang baik antara generasi tersebut. Generasi baru ini kemudian melahirkan generasi yang asing dengan budayanya sendiri. Sebagai misal bahasa Jawa halus kini semakin asing. Pada akhirnya nilai-nilai budaya yang kemudian dianggap lama tersebut hanya menjadi bagian dari masa lalu.
Hal lain yang menjadi penyebab tersendatnya pola pewarisan budaya adalah rendahnya budaya tulis dan lebih terbiasa dengan budaya lisan (tutur). Budaya lesan yang tidak terdokumentasi ini lambat laun akan mengalami degradasi secara kualitas dan kuantitas. Hal itu antara lain terlihat dari berbagai upacara ritual, simbol, ungkapan yang kehilangan makna ketika dijabarkan ditengah-tengah masyarakat. Dalam upacara garebeg misalnya, ribuan manusia berebut makanan kraton berbekal pengetahuan latah ”untuk mendapatkan berkah.” Ditengah-tengah masyarakat, berbagai bentuk upacara selamatan dilaksanakan tanpa makna. Sangat jarang dapat ditemui warga masyarakat yang mengetahui makna dan maksud rasulan, selikuran, apem, kolak,ketan, sego golong dan sebagainya.
Berbagai kata bijak yang menunjukkan kearifan nilai-nilai budaya jawa pun mengalami nasib yang tidak terlalu berbeda. Beberapa contoh kata bijak itu misalnya: ajining diri ana ing lathi ajininng raga ana busana, cegah dahar lawan guling, dikenaa iwake aja nganti buthek banyune, lembah manah lan andhap asor, ngono ya ngono ning aja ngono, wong jawa ngone semu dan lain-lain. (Pardi Suratno dan Hanniy Astiyanto, 2004). Budaya-budaya yang bermakna dalam tersebut merupakan rembesan budaya adiluhung yang sayangnya kini telah memudar di masyarakat.
Sebaliknya yang berkembang dimasyarakat adalah budaya massa atau mass culture. Budaya massa timbul sebagai akibat dari massifikasi yakni bila orang kebanyakan memakai simbol lapisan atas. Hal ini disebabkan karena dalam sektor budaya terjadi industrialisasi dan komersialisasi. Budaya massa mempunyai ciri-ciri yang berkebalikan dengan budaya elite. Pelaku akan kehilangan jati dirinya sehingga ini sebenarnya merupakan bentuk pembodohan. Ia hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi yang tidak boleh berperan dalam bentuk apapun. (Kuntowijoyo, 1997; hal. 55). Sehingga, istilah budaya massa sebenarnya mengkonotasikan ejekan, merendahkan. Budaya massa mengacu kepada suatu masyarakat tak berbudaya.
Apabila memudarnya budaya elite kita sayangkan, sebaliknya dengan budaya massa yang tumbuh berkembang kita risaukan. Kerisauan akan perkembangan budaya massa antara lain disebabkan alasan sebagai berikut. Pertama, budaya massa diproduksi secara massal berdasarkan perhitungan dagang belaka. Kedua, kebudayaan massa merusak kebudayaan elite dengan berbagai cara bahkan dengan menyedot potensi yang ada pada kebudayaan elite. Ketiga, kebudayaan massa menanamkan pengaruh buruk pada masyarakat seperti masalah seksualitas, kekerasan dan kriminal yang merupakan ciri kuat dari kebudayaan massa. Keempat, penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya mengurangi nilai budaya elite akan tetapi juga menciptakan khalayak yang pasif. (Sapardi Djoko Damono, 1997; hal 49-50).
Dalam kebudayaan massa akan menumbuhkan masyarakat yang konsumerisme, dimana faktor penampilan akan dominan dan sebaliknya masyarakat dijauhkan dari orientasi religi. Konsumsi masyarakat tidak didasarkan atas kebutuhan akan tetapi karena untuk faktor pencitraan. Inilah yang disebut massifikasi. Masyarakat klass menengah akan bergaya hidup atas dan klass bawah akan bergaya menengah. Sebaliknya, produksi dilakukan bukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan tetapi produksi dilakukan untuk menciptakan kebutuhan. Kini hampir semua rumah tangga mempunyai hanphone, sebuah barang yang masih eksklusif untuk sepuluh tahun yang lalu. Kemudian, handphone yang awalnya sebagai alat komunikasi, kini telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas lain seperti kamera, radio, recorder, tv, e-mail dll. Berbagai fasilitas itu menjadikan orang tertarik dan merasa membutuhkan.
Untuk itu peran pemerintah baik pusat maupun daerah masih dibutuhkan dalam rangka menjaga dan melestarikan nilai-nilai dan identitas budaya bangsa. Meski demikian, komitmen untuk menjaga, mempertahankan dan melestarikan budaya adiluhung tetap merupakan modal dasar yang harus ada terlebih dahulu.
Sumber Rujukan:
terimaksih atas infonya.
BalasHapussangat bermanfaat ^_^
sama2....... hehehe dah lama gakk buka blog....
BalasHapus