Jumat, 16 September 2011

APRESIASI PUISI DIPONEGORO KARYA CHAIRIL ANWAR


APRESIASI PUISI DIPONEGORO
KARYA CHAIRIL ANWAR
Sebagai Tugas Apresiasi Puisi

Disusun oleh:

Nama                             : Imam Fitrin
NIM                     : 2101409154
Jurusan               : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Dosen Pengampu : Sumartini
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010
BAB I PENDAHULUAN

Karya sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala wujud dan dimensinya.
Puisi adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat pengalaman yang disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara estetik.
Susunan kata dalam puisi relatif lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi: makna, citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan simboliknya. Kata-kata dalam puisi harus mampu diboboti oleh gagasan yang ingin diutarakan penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus pula mampu membangkitkan tanggapan rasa pembacanya.
Untuk mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus menciptakan kontak, dalam arti membaca teks sastra dan melakukan penghayatan. Kontak ini bisa terjadi apabila pembaca memahami kode kebahasaan ataupun sistem tanda dalam puisi yang diapresiasi. Hanya melalui hubungan yang demikian komunikasi dapat berlangsung dan karya sastra mendapatkan maknanya.
Puisi sebagai suatu struktur makro keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, sistem tanda yang terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana kontak dengan pembaca (penerima). Selain komponen makro kita juga mendapatkan komponen mikro, yakni komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara internal. Jelasnya suatu puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2) kata-kata atau diksi, dan (3) penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan kontak dengan pembacanya.
Unsur keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh penggunaan unsur bunyi yang juga mempunyai berbagai macam karakteristik, seperti asonansi, disonansi, aliterasi, rima, dan irama.
Untuk memahami makna puisi, kita akan menemukan makna literal, pengertian tersirat, dan nilai kehidupan. Makna literal merupakan makna yang digambarkan oleh kata-kata dalam puisi seperti lazim dipersepsikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran apresiasi sastra meliputi pembelajaran apresiasi puisi, prosa, dan drama. Ada beberapa prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut. (1) Pembelajaran sastra berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya bangsa. (2) Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan pengayaan daya estetis melalui bahasa. (3) Pembelajaran apresiasi sastra bukan pelajaran sejarah, aliran, dan teori sastra. (4) Pembelajaran apresiasi sastra adalah pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan di dalam karya yang dapat dikaitkan dengan nilai kemanusiaan di dalam dunia nyata. Pembelajaran apresiasi puisi dapat dilakukan dengan memadukannya dengan empat aspek keterampilan berbahasa, yakni: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Karya-karya puisi angkatan 45, angkatan 66 dan angkatan sebelumnya banyak menuliskan semacam ode atau pujian terhadap sosok-sosok yang dianggap berjasa merebut kemerdekaan sekaligus sebagai cara untuk memaknai  kecintaan pada tanah air.
Chairil Anwar adalah salah satu penyair angkatan 45 yang menuangkan ekspresi kekagumannya terhadap sosok Diponegoro, menggambarkan getar api revolusi yang membara dari petikan puisinya terhadap pahlawan nasional asal Pulau Jawa itu.
Menurut penyair Raudal Tanjung Banua, sajak Diponegoro adalah sebuah monumen pahlawan dalam puisi. Karena syairnya yang lugas layaknya orasi, seirama dengan semangat zaman berupa momen-momen politik yang mendera pada saat itu. Sajak Diponegoro menyuarakan kepentingan politik sekaligus kekaguman kepada sosok Diponegoro.

BAB II PEMBAHASAN
A.    Sekilas Tentang Chairil Anwar Sang Penyair Legendaris
Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922 ini adalah seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya yaitu pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949 masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948). Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.
Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

B.     Angkatan ’45
Angkatan ’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat memprihatinkan dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan dengan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan ’45 antara lain: terbuka, pengaruh unsur sastra asing lebih luas, corak isi lebih realis, naturalis, dan individualisme sastrawan lebih menonjol. Puisi yang dianggap maskot pembaharuan dalam sejarah perpuisian di Indonesia adalah puisi yang berjudul “ Aku” karya Chairil Anwar. Dalam puisi tersebut, Chairil menggambarkan pandangan dan semangat hidupnya yang menggebu-gebu, individualistis, dan revolusioner.
Karya sastra pada masa Angkatan ’45, antara lain: Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin), Deru Campur Debu (Chairil Anwar), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar) , Pembebasan Pertama (Amal Hamzah), Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumardjo)

C.    Puisi “Diponegoro”

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali

Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu negeri
Menyediakan api

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang
Februari 1943



D.    Apresiasi Puisi “Diponegoro”
Pangeran Diponegoro adalah patriot bangsa yang pantas untuk diteladani. Di masa pembangunan ini semangat perjuangan Pangeran Diponegoro harus dihidupkan kembali di dalam jiwa kita (Tuan hidup kembali/ dan bara kagum menjadi api). Chairil melihat betapa Pangeran Diponegoro begitu bergairah mempertahankan hidup ini. Tanpa rasa takut, tanpa rasa bimbang, seakan-akan semua persoalan hidup ini sudah terjawab. "Di depan sekali tuan menanti./Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali./Pedang di kanan, keris di kiri./ Berselempang semangat yang tak bisa mati". Baris tersebut juga menunjukkan perjuangan Pangeran Diponegoro yang tidak hanya didukung oleh kekuatan militer yang terlatih (pedang) tetapi juga oleh kekuatan rakyat yang sesuai tradisi (keris). Melihat semua ini,  Chairil muda hanya bisa berkata: "Dan bara kagum menjadi api". Seorang pemuda yang sedang bimbang dan berpikir keras sekarang berhadapan dengan seorang pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi hidup ini.
Pasukan Diponegoro memancarkan kekuatan (bergenderang-berpalu), mengandalkan semangat kesetiakawanan, dan saling mempercayai (kepercayaan tanda menyerbu). Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup adalah sesuatu yang harus diisi dengan arti. Hidup akan cukup berharga kalau dia punya arti, meskipun arti itu hanya kita berikan satu kali. Hidup harus dikaitkan dengan sesuatu yang lebih besar dari hidup itu sendiri -- dalam hal Diponegoro, kemerdekaan negerinya. Dalam keadaan seperti itu, kematian yang menjadi pikiran yang terus menerus datang mengganggu Chairil, tampak tidak berarti, karena kehidupan itu sendiri sudah tidak menjadi inti persoalan lagi, melainkan hanya tinggal bagian kecil dari suatu yang lebih besar itu. Karena itu, meskipun tahu bahwa dia mungkin akan kehilangan hidupnya, sang pangeran tetap tegak "tak gentar" di hadapan "lawan banyaknya seratus kali". Karena kemerdekaan adalah lebih tinggi dari kehidupan itu sendiri.
Apa yang diperjuangkan sang pangeran? "Bagimu, negeri menyediakan api", katanya. Diponegoro berjuang untuk tanah airnya, yang identik dengan kemerdekaan. Lebih baik punah dari pada hidup menghamba, lebih baik binasa daripada hidup tertindas.
Bait terakhir puisi “Diponegoro” menunjukkan kebulatan tekad para patriot untuk membela bangsa dan tanah air seperti berikut ini: maju/ serbu/ serang/ terjang. Penyair melihat bahwa para patriot bangsa tidak mempunyai pilihan lain dalam menghadapi penjajah kecuali maju untuk menyerbu, menyerang, dan menerjang musuh.


BAB III PENUTUP

Karya sastra puisi sebagai sistem tanda dapat disikapi sebagai salah satu ragam penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan tetapi, bentuk komunikasi dalam sastra juga bersifat khas karena (1) tidak mempunyai bentuk hubungan timbal balik antara penutur dan penanggap secara langsung, (2) pemahaman pesannya telah mengalami otonomisasi karena pemahaman pesan tidak terjadi secara otomatis, dan (3) berbeda dengan komunikasi lisan, karena komunikasi sastra tidak lagi terikat oleh konteks hubungan langsung, misalnya tempat, waktu, dan peristiwa.
Di saat batin kemanusiaan Chairil Anwar begitu merindukan semanagat, dengan gagah berani tiba-tiba Chairil mendapati sosok legendaris Pangeran Diponegoro sebagai konkretisasi dari kegairahannya mempertahankan hidup.
Proses perjalanan hidup Chairil Anwar pula yang mengilhami penulisan sajak Diponegoro, pada Februari 1943. Meski sama-sama berbicara tentang kematian, sajak-sajak yang ditulisnya menjelang akhir hidupnya lebih intens. Sajak-sajaknya yang bertema kepahlawanan membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia.
Demikian paparan yang telah penulis sampaikan sesuai dengan kemampuan yang dapat dikayakan masih awam dan baru dalam hal mengapresiasi puisi. Dengan senang hati, apabila pembuatan makalah ini masih dirasa kurang, saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun, penulis ucapkan terima kasih.

2 komentar: