Semua berawal dari
penemuan masjid secara misterius. Penduduk menganggap masjid itu adalah masjid
tiban. Namun belakangan diketahui masjid itu termasuk masjid bersejarah yang
menyimpan karisma. Dan termasuk peninggalan Wali Sanga, pionir penyebaran Islam
di pulau Jawa. Banyak keunikan dari masjid-masjid purba ini. Salah satunya
adalah tiang penyangga soko tatal milik Sunan Kalijaga. Dari sini rona
kebersamaan umat pun tampil dalam wujud yang tak menggebu-gebu, tapi nyata.
Mulanya tak ada yang tahu
masjid itu berasal. Penduduk tiba-tiba menemukan sebuah masjid sederhana di
atas bukit Candi Ketilang, masuk Kabupaten Purwodadi Grobogan masa kini. Tapi,
beberapa waktu kemudian bangunan itu pindah, bergeser sejauh dua kilometer ke
sebuah dukuh bernama Kondowo. Pada akhirnya masjid ini pindah lagi sejauh satu
kilometer ke Desa Terkesi, Kecamatan Klambu.
Cerita yang
kedongeng-dongengan ini, oleh penduduk setempat masjid itu diberi nama masjid
tiban artinya masjid yang jatuh dari langit. Usut punya usut, ternyata setelah
diteliti semuanya berawal dari masa pembangunan masjid di Glagah Wangi, yang
kemudian menjadi semacam tonggak bagi sejarah masjid di pulau Jawa. Sebab
Glagah Wangi itulah yang kemudian dikenal sebagai Demak, dan masjid yang
dibangun itu adalah masjid Agung Demak.
Ketika para wali memutuskan
masjid harus dibangun dari kayu jati, diketahui di sekitar Glagah Wangi tak
terdapat hutan jati yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bangunan. Lalu
diputuskan mengambil kayu jati dari daerah Klambu, masuk kawasan Purwodadi
tadi. Pada masa itu kawasan tersebut belum berpenduduk. Para penebang yang
dikirim dari Demak lalu mendirikan masjid sederhana di tengah hutan jati untuk
tempat beribadah mereka.
Setelah penebangan yang
memakan waktu berbulan-bulan selesai, mereka pun balik ke Demak dan
meninggalkan sebuah masjid di tengah hutan. Masjid inilah yang kemudian
ditemukan penduduk dan menganggap masjid itu “jatuh dari langit”. Soal
berpindah-pindah sang masjid memang lebih menyerupai dongeng ketimbang urutan
kronologis sejarah. Tetapi, ada satu benang merah di sini, bahwa sejarah
masjid-masjid purba di Jawa dan Nusantara tak jarang melibatkan misteri dan
kekeramatan.
Soko ‘Tatal’ Nyentrik
Saat itu sidang para wali yang
dipimpin Sunan Giri memanas. Terjadilah silang kiblat–silang pendapat untuk
menentukan arah kiblat–dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Sampai menjelang
sholat Jumat tak ada kata sepakat. Sunan Kalijaga tampil melerai dengan
menunjukkan arah kiblat antara Demak dan Mekkan secara ainul yaqin.
Dalam Babad Demak dan kitab
Walisanga karya Sunan Giri II, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh Melaya, karena
ia putra Tumenggung Melayakusuma di Jepara. Lalu, menurut sahibul kisah, ia
tegak menghadap ke selatan. Tangan kanannya memegang Ka’bah di Masjidil Haram,
dan yang kiri memegang makuta
Masjid Agung Demak. Lalu
diluruskan arahnya dengan membentangkan kedua tangannya.
Para wali lainnya; Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Gresik, memandang takjub. Dengan cara itulah, konon, kiblat Masjid Agung Demak dibakukan, dan pembangunan pun dimulai. Hikayat ini menambahkan kadar karisma pada masjid bersejarah itu.
Para wali lainnya; Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Gresik, memandang takjub. Dengan cara itulah, konon, kiblat Masjid Agung Demak dibakukan, dan pembangunan pun dimulai. Hikayat ini menambahkan kadar karisma pada masjid bersejarah itu.
Pembangunan Masjid Agung
Demak, tak pelak lagi, mulai diprakarsai para wali. Sokoguru atau tiang
penyangga utama bangunan kemudian dibebankan kepada para wali. Bangunan yang
lain disokong oleh Raden Patah, Raja Kerajaan Islam Demak Bintoro.
Pembangunannya dipimpin Adipati Natapraja, bakas punggawa Majapahit yang
memihak para wali.
Ada empat sokoguru yang
masing-masing disumbangkan Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan
Sunan Bonang. Namun, sokoguru dari Sunan Kalijaga yang paling nyentrik karena
dibuat ddari serpihan kayu (tatal) yang digabung jadi satu. Ceritanya, saat itu
Sunan Kalijaga diberi tugas untuk menyumbangkan kayu. Namun setelah waktu yang
ditentukan tiba, murid-murid Sunan Kalijaga kebingunan karena kayu yang hendak
dijadikan penyangga kurang.
Sunan Kalijaga tak kekurangan
akal–entah ini masuk akal atau tidak tapi kenyataannya ada–ia melihat serpihan
kayu dimana-mana. Lalu dengan keahliannya, Sunan Kalijaga menyatukan
serpihan-serpihan itu menjadi satu. Ajaib, serpihan itu pun bisa menyambung
menjadi penyangga yang tak kalah kuatnya dengan penyangga lain. Dari situlah
sokoguru milik Sunan Kalijaga disebut ‘Soko Tatal’ alias ‘Tiang Tatal’. Tiang
seperti ini hanya terdapat di satu masjid lagi, yaitu masjid Agung Cirebon,
yang konon juga merupakan sumbangan Sunan Kalijaga.
Cuma sampai sekarang tidak ada
data yang pasti kapan berdirinya Masjid Agung Demak. Menurut Ensiklopedi Islam
Indonesia, tahun berdiri masjid tersebut dilambangkan dengan gambar petir di
pintu masuk yang disebut “Lawang Bledheg”. Ini dianggap sebagai candra sengkala
memet (penanda waktu) berupa Naga Salira Wani, yang dirujukkan ke tahun 1388
Caka alias 1466 Masehi.
Rujukan lainnya adalah mbar
kura-kura yang terpampang di tembok mihrab. Kepala kura-kura ditafsirkan 1,
kaki = 4, badan = 0 dan buntut = 1. Hasilnya 1401 Caka alias 1479 Masehi. Tapi
masih ada satu rujukan lagi, yaitu piagam peraksara Jawa di pintu depan bagian
atas. Dalam prasasti itu disebutkan, masjid ini dibangun pada 1 Zulkaedah 1428
Hijriah atau 1501 Masehi. Namun Babad Demak menyebut angka 1399 Caka.
Bangunan Masjid Agung Demak
memang menarik untuk disimak. Bangunan utamanya berupa joglo dengan tiga lapis
atap. Ketiga lapis itu melambangkan tiga tingkatan dalam tasawuf. Dari bawah ke
atas melambangkan syariat, tarikat, dan makrifat.
Kini, masjid yang menjadi
benda cagar budaya ini berdiri di atas lahan 11.220 meter persegi. Bangunan
induk dan serambi meliputi 1.311 meter persegi. Ditopang dengan empat sokoguru,
masing-masing tingginya 19,54 meter dan bergaris tengah 1.45 meter. Interior
masjid diperkuat dengan 16 pilar dari kayu utuh berdiameter 60 sentimeter. Di
belakang masjid terdapat makam Raden Patah dan sejumlah bangsawan Demak.
Sampai sekarang Masjid Demak
menghidupi dirinya sendiri. Tak ada bantuan dari pemerintah. Perawatan dan gaji
karyawan mengandalkan uang infak dari wisatawan. Namun beberapa dari mereka
tetap yakin bahwa Masjid Agung Demak tetap dijaga Eyang Sunan, demikian seperti
diakui pengurus masjid yang mengaku pernah berdialog dengan mereka ketika
beritikaf di dalam masjid. Mereka, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung
Jati, dan Sunan Muria.
Tertua Tapi Bukan Yang Tua
Setelah masjid Demak, sejumlah
masjid kuno pun mulai “bergoyang” di antara ketidakpastian data. Salah satunya
masjid Agung Cirebon yang dikenal sebagai masjid tertua di Jawa. Konon
pembangunannya mendahului pembangunan Masjid Agung Demak. Tapi banyak pihak
yang menyangsikan kesimpulan ini. Termasuk Sultan Kasepuhan Cirebon, Pangeran
Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, SH, yang secara garis keturunan bersambung
ke atas dengan Syarif Hidyatullah alias Sunan Gunung Jati.
Sebuah sumber menyebutkan,
masjid ini dibangun pada 1422 Caka alias 1500 Masehi. Sumber lain mengatakan,
ia dibangun pada 1498 Masehi. “Setahu saya masjid ini dibangun setahun setelah
Masjid Agung Demak,” kata Sultan Kasepuhan.
Masjid Agung Cirebon juga
dikenal sebagai Masjid Agung Kasepuhan. Tetapi nama aslinya adalah Masjid Sang
Cipta Rasa. Satu hal yang tak bisa dibantah, masjid ini dibangun pada masa
Sunan Gunung Jati. Dulu, di majid ini pernah digelar siding Wali Sanga untuk mengadili
Syekh Siti Jenar. Dan jangan lupa, Syeh Siti Jenar itu juga wali, Cuma
ajarannya mungkin mendahului jamannya, sehingga bisa membingungkan orang awal.
Lalu jenazah Syeh Siti Jenar–usai dieksekusi Sunan Kudus–dimakamkan di
Kemlaten, masuk kawasan Indramayu.
Di antara ‘masjid wali’–Majid
Demak dan Ampel–Masjid Agung Cirebon bisa dibilang paling utuh. Tiang-tiangnya
yang terbuat dari kayu jati abad ke 16 masih tegak perkasa., walau kini
dikelilingi lempengan besi penyangga untuk menjamin kekokohannya.
Tapi yang paling istimewa dari
masjid ini adalah “azan pitu”, yaitu azan yang dikumandangkan oleh tujuh muazin
berbarengan pada setiap jelang sholat Jumat. Seperti halnya masjid wali
lainnya, Sang Cipta Rasa juga secara teratur menerima kunjungan tak hanya dari
sekitar Cirebon, melainkan juga dar berbagai daerah, termasuk luar Jawa dan
mancanegara.
Sementara sekitar 30 kilometer
dari Demak arah ke timur, terletak kota Kudus. Kudus, secara kontemporer lebih
dikenal sebagai kota industri rokok kretek. Tetapi pada awal perintisan Islam
di Pulau Jawa, di sini pernah bermukim Ja’far Shodiq, yang kelak lebih
termasyur sebagai Sunan Kudus, satu di antara Wali Sanga.
Di antara masjid peninggalan
Wali Sanga, Masjid Kudus lah yang paling sulit dilacak bentuk aslinya. Padahal
ia didirikan paling akhir, pada 956 Hijrih atau 1549 Masehi. Nama asli masjid
ini hampir tak dikenal orang, yakni Masjid Al-Aqsha. Kini, ia lebih popular
sebagai Masjid ‘Menara’ Kudus, sebab bangunannya merujuk pada corak Hindu di
sisi kanan depan masjid.
“Boleh jadi, menara tertua di
Jawa adalah Menara Kudus,” tulis Dr. G.F. Pijper dalam The Minaret in Java
(India Antiqua, Leiden, 1947). Kalau Pijper benar, menara itu sudah berdiri
sebelum Masjid Al-Aqsha dibangun.
Diceritakan, saat itu Sunan
Kudus memang terkenal bijak mendekati para penduduk Kudus yang menganut
kepercayaan Hindu. Sampai sekarang, misalnya, di kota Kudus tidak
diperdagangkan daging sapi. Menurut penduduk, larangan menyembelih dan
memperdagangkan daging sapi ini merupakan wasiat Sunan Kudus untuk menjaga hati
para penganut Hindu, bahkan setelah mereka memeluk agama Islam. Dengan cara itu
Sunan Kudus berhasil mengislamkan Kudus.
Sementara Menara Kudus sendiri
tak jelas kapan dibuatnya. Berdasarkan candra sengkala yang terdapat di bagian
atap menara, “gapura rusak ewahing jagad,” Prof. Dr. Soejipto Wirjosuparto
merujuk ke tahun Jawa 1609 atau 1685 Masehi. Tapi tafsir ini sangat meragukan.
Kalau tafsir ini benar, menara itu jadinya dibangun 136 tahun setelah Masjid
Kudus berdiri, sesuatu yang sulit diterima akal sehat.
Di samping menara, bagian unik
Masjid Kudus adalah sepasang gerbang purba yang justru terdapat di ruang dalam
masjid. Konon, itulah sisa gerbang Masjid Kudus yang asli, disebut ‘Lawang
Kembar’. Berbeda dengan Sunan Gunung jati dan Sunan Kalijaga, yang dimakamkan
jauh dari kompleks masjid, Sunan Kudus, pencipta gending Maskumambang dan Mijil
itu dimakamkan masih dalam kompleks dan terbuka untuk para peziarah pada hari
dan jam tertentu.(berbagai sumber)